Kota M terletak sekitar 100-an kilometer dari kota kelahiran Kino. Ke
sanalah kini pemuda itu menuju, naik kendaraan umum bersama teman
ayahnya, Paman Tingga namanya, yang bersedia menampung Kino selama ia
mempersiapkan diri untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi masih basah dan
agak berembun ketika keduanya berangkat ke terminal berjalan kaki.
Sambil melangkah, Kino mengenang perpisahannya tadi malam dengan Alma.
Ada kesenduan di raut muka gadis manis itu, walaupun Kino berusaha
menghiburnya dengan bercanda. Lagipula, apa yang dirisaukannya? Toh,
mereka hanya akan berpisah dua bulan. Bagi Kino, tak apa lah berpisah
dari Alma, karena ia merasa memerlukan konsentrasi penuh untuk persiapan
masa depannya. Tetapi bagi Alma rupanya agak lain. Gadis itu merasa
inilah awal dari sebuah perpisahan panjang yang tak terelakkan.
Malam itu mereka meminta ijin untuk menonton. Kedua orangtua Alma
mengijinkan, dengan perjanjian agar mereka pulang sebelum pukul 11.
Tetapi, mereka membatalkan acara menonton, karena ternyata film yang
tadinya mereka akan tonton telah diganti dengan sebuah film silat.
Akhirnya mereka duduk saja di pinggir alun-alun dekat pantai. Ada sebuah
tembok pendek pembatas alun-alun dengan jalan. Di sana lah keduanya
duduk berayun-ayun kaki, menghadap ke selatan ke arah laut yang
menghitam nun di sana. Awan hujan tak tampak di langit, tetapi angin
terasa mulai dingin. Kino memeluk pundak kekasihnya.
"Apa rencana kamu setelah kursus?" tanya Alma sambi memainkan kancing bawah jaketnya.
"Mmmm ..., belum tahu. Mungkin langsung ikut test seleksi," jawab Kino.
Ia memang membicarakan kemungkinan ini dengan ayahnya beberapa waktu
yang lalu. Ayah dan ibu juga setuju jika Kino ingin ikut test langsung
di lokasi perguruan tinggi yang ditujunya, di kota B. Tetapi, menurut
kedua orangtuanya, keputusan ada di tangan Kino setelah ikut kursus.
"Berarti kamu langsung ke B...," ucap Alma sambil mengibaskan rambut yang menutupi mukanya.
"Ya,.. senang sekali kalau bisa ikut test di sana. Aku ingin sekali
melihat kampusnya. Kata orang, kampus itu besar sekali, berkali-kali
lebih besar dari alun-alun ini!" jawab Kino bersemangat. Ia merasa, ikut
ujian seleksi di kampus itu akan menambah motivasi dan kemungkinan
lulus.
"Tetapi, itu berarti kita tak akan bertemu lagi," bisik Alma.
Kino menoleh. Memandang kekasihnya yang kini menunduk. Rambutnya yang
legam tergerai menutup wajahnya. Dengan lembut, Kino mencoba menyibak
rambut itu. Alma mengelak. Kino mencoba lagi, Alma tetap mengelak,
bahkan melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.
"Apa maksudmu?" tanya Kino.
Alma menggeser duduknya menjauh, lalu menghadapkan tubuhnya ke Kino.
Wajahnya serius, "Maksudku,... kita akan berpisah semakin lama. Lalu,
kalau diterima di perguruan tinggi,... kamu dan aku akan sama-sama sibuk
kuliah. Kemungkinan, kita tak akan bertemu lagi dalam waktu satu atau
dua tahun. Atau mungkin lebih."
"Ya,... agaknya begitu," ucap Kino pelan. Ia memang juga punya dugaan
yang sama, tetapi apa yang bisa dilakukannya? Bukankah sekolah
tinggi-tinggi adalah keinginan mereka berdua? Kalau mereka terpaksa
berpisah karena keinginan itu, apa yang bisa mereka lakukan?
"Lalu kita akan saling melupakan...," bisik Alma, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa saling melupakan?" sergah Kino.
"Karena kita akan sama-sama sibuk kuliah..."
"Tetapi kita bisa saling menyurati. Kita bisa ... "
"Tetap saja....," Alma memotong dengan cepat, "Kita tetap akan saling menjauh tanpa kita sengaja."
"Kita masih bisa bertemu lagi, Alma. Aku pasti itu!" ucap Kino mencoba
tegas, walau ia sendiri tak tahu apakah suaranya betul-betul kedengaran
tegas. Ia sendiri ragu, apakah memang ada kepastian di masa depan?
Bukankah masa depan selalu samar-samar?
Alma menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dalam desah yang
keras. "Yah .. pasti kita bertemu lagi, tetapi mungkin sebagai dua orang
yang berbeda..." ucapnya pelan.
Kino terdiam. Tiba-tiba ia sadar, betapa ia tak kuasa mengatur aliran
kehidupan. Betapa kecilnya ia menghadapi dunia yang begitu luas, yang
berada di luar batas kendalinya. Ia ingin sekolah dan menjadi arsitek
ulung, tetapi untuk itu ia harus meninggalkan banyak sekali kenangan
manis. Tidak hanya Alma, tetapi juga Susi adik satu-satunya, ayah dan
ibunya, teman-temannya, sungai tempatnya berenang, pantai yang menyimpan
jutaan memori, hutan kenari, kota kecil yang damai ..... banyak sekali!
"Melamun apa?" teguran Paman Tingga di sampingnya membuat Kino
tersentak. Tak terasa, mereka sudah sampai di terminal. Kino tersipu
sambil berbohong, mengatakan bahwa ia sedang membayangkan kota M.
Paman Tingga tersenyum, lalu menepuk pundaknya. "Jangan bohong. Kamu
pasti sedang melamunkan pacarmu," ucapnya sambil tertawa pelan.
"Yah,.. yang itu juga kulamunkan, sambil membayangkan kota M," jawab Kino tak mau kalah. Paman Tingga tertawa lebih keras.
Mereka naik ke kendaraan umum yang sudah menunggu. Kino duduk dekat
jendela, sementara teman ayahnya turun lagi untuk membeli makanan kecil
dan minuman. Kino tinggal di atas mobil, melanjutkan lamunannya.
*****
Setelah bosan duduk di alun-alun, Alma dan Kino berjalan-jalan menyusur
pantai. Pada malam hari, terutama di saat libur sekolah seperti ini, dan
jika hujan tidak turun, pantai selalu ramai oleh warung-warung dan
orang yang berjalan-jalan. Anak-anak tampak berlarian main
kejar-kejaran. Sekelompok orang tampak duduk mengelilingi sepasang
lelaki bermain catur diterangi lampu petromaks. Di tempat lain,
sekelompok remaja bernyanyi-nyanyi diiringi gitar. Berpasang-pasang
kekasih tampak juga berjalan-jalan seperti halnya Kino dan Alma.
Sekali-kali mereka berpapasan dengan orang yang dikenal, saling bertegur
sapa, atau sejenak berhenti untuk bercakap berbasa-basi.
Alma dan Kino lebih banyak diam sambil berjalan. Masing-masing tenggelam
dalam lamunan, terutama tentang telah tibanya saat perpisahan.
Masing-masing mencoba mencari apa saja kah makna perpisahan itu? Tetapi
mereka berdua hanya menemukan satu: perpisahan itu menyakitkan.
Memedihkan. Membuatmu tak berdaya.
Alma menggamit tekan kekasihnya, meremas pelan, lalu bertanya memecah keheningan, "Apakah kamu mencintai ku?"
"Ya," jawab Kino pendek. Sial! Mengapa pendek sekali jawaban itu? umpat
Kino dalam hati. Tetapi, lalu seberapa panjang kah seharusnya? Satu
kalimat? Dua kalimat? Satu halaman surat? Seberapa kah?
"Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya?" tanya Alma lagi.
"Kenapa?" malah Kino balik bertanya.
"Aku yang bertanya duluan. Kamu, koq, malah bertanya kembali," sergah Alma.
"Ya. Aku juga bertanya sendiri, kenapa aku tak pernah mengatakannya,"
"Lalu, apa jawabnya?" desak Alma.
"Aku tak tahu. Tetapi kenapa itu jadi persoalan, Alma? Aku memang tak
pernah mengucapkannya. Aku tak bisa. Tak pandai," jawab Kino agak kesal.
Alma menghentikan langkah. Kino terpaksa juga ikut berhenti. Mereka
telah berada agak jauh dari keramaian. Suara ombak berdebur keras.
Semakin terdengar keras di tengah keheningan.
Alma memegang kedua tangan Kino, menghadapnya dengan muka tengadah,
memandang dengan mata beningnya. Sebagian rambut menutupi mukanya,
melintang di hidungnya yang bangir, di bibirnya yang ranum, di pipi
berlesung-pipitnya. Ah, Kino melihat kecantikan semata di tengah
samar-samar malam. Melihat sinar kerinduan di mata itu, bagai
bintang-bintang berpijar lembut. Melihat seraut wajah tempat ia
melabuhkan impian-impiannya. Mengapa semuanya tampak begitu mengesankan
saat engkau harus berpisah?
Alma terpejam merasakan nafas kekasihnya dekat sekali menerpa wajahnya.
Bibir Kino perlahan menyentuh bibirnya. Kedua tangan mereka saling
meremas. Angin keras mengibarkan jaket-jaket mereka. Ciuman kali ini
terasa sangat lembut, selembut awan putih di langit biru. Sangat hangat,
sehangat mentari di pagi yang cerah. Mesra dan manja mengalunkan
kerinduan. Alma membuka mulutnya, mengundang kekasihnya datang merasuki
seluruh jiwa-raganya. Datang lah kekasih, reguk habis rinduku, bawa daku
terbang setinggi mungkin.
Keduanya berdiri rapat. Kino mengulum mesra bibir kekasihnya, menghirup
harum-sedap nafasnya, menggigit manja lidahnya yang nakal. Alma membuka
sedikit matanya, memandang wajah Kino yang dekat sekali di depannya.
Sebentar lagi ia akan pergi jauh, gumam Alma dalam hati. Sebentar lagi
wajah itu hanya akan ada di dompet ku, menjadi sebuah potret kekasih
yang mungkin juga akan segera lusuh karena terlalu sering disentuh.
Sambil membalas ciuman kekasihnya, diam-diam Alma merekam wajah itu
sedetil mungkin. Mematrinya di benak. Ah, Kino ..... dahinya yang selalu
serius. Matanya yang tajam-tegas. Tulang pipinya yang mengguratkan
ketakmenyerahan. Hidungnya yang menggemaskan (aku senang sekali mencubit
hidung itu!). Bibirnya yang selalu bergairah. Selalu!
Kino melepaskan ciumannya, membuka mata dan menemukan sepasang mata
kekasihnya memandang mesra. Ia berbisik, "Alma, aku ingin bercumbu malam
ini. Mari kita pergi dari sini..."
Alma tertawa pelan, "Kemana kamu hendak membawa ku?" tanyanya sambil memeluk leher Kino.
Kino melihat sekeliling. Pantai tampak sepi, tetapi juga terlalu
menakutkan di tengah malam seperti ini. Tidak di sini. Kino memutuskan
untuk mengajak Alma ke sebuah tempat yang selama ini menjadi
"persembunyian" mereka: sebuah pondok di tengah kebun kopi. Tetapi
lokasinya ada di sisi lain dari kota, sehingga untuk ke sana mereka
perlu berjalan cepat.
"Ke sana?" Alma bertanya ketika melihat Kino diam saja. Ah, gadis ini memang bisa membaca pikiran ku, ucap Kino dalam hati.
"Ayo, kita ke sana...," kata Kino bergairah, menggulung kaki celananya
dan menarik tangan Alma untuk meninggalkan pantai. Alma tertawa kecil,
mengikuti tarikan tangan ke kasihnya. Sebentar kemudian mereka telah
berlari-lari menyebrang jalan, menelusuri alun-alun menuju tengah kota.
Lalu, di depan kantor camat mereka berbelok, melintasi persawahan,
berjalan beriringan sambil sekali-sekali bercanda. Malam semakin
larut....
"Waahhh... melamun lagi!" Paman Tingga telah naik kembali ke mobil. Kino
terperanjat dan tersipu lagi. Sialan! Lamunannya terpotong di tengah
jalan.
"Nih,... makan kacang goreng supaya tidak terlalu banyak melamun," ujar
Paman Tingga sambil menyodorkan sebungkus kacang. Kino mengucapkan
terimakasih dan mulai memasukkan beberapa butir ke mulutnya.
Paman Tingga lalu mengajak mengobrol, bertanya-tanya tentang sekolah
Kino. Terpaksa lah Kino menimpalinya, menjawab semua pertanyaannya
dengan lengkap. Paman Tingga lalu juga bercerita tentang dirinya dan
anak-anaknya yang masih kecil. Tentang kota M yang katanya tumbuh pesat
karena menjadi pusat perdagangan bagi kota-kota kecil sekitarnya. Paman
Tingga ini seorang pedagang yang konon sedang naik daun. Ia sering
mundar-mandir ke ibukota mengurus bisnisnya. Kino senang juga mendengar
ulasannya tentang lika-liku bisnis, walaupun dunia itu sangat asing
baginya.
Tetapi ketika mobil mulai bergerak, Paman Tingga berhenti bercerita.
Bahkan tak lama kemudian ia terlihat terkantuk-kantuk. Baru 10 menit
mobil melaju, Paman Tingga telah menyandarkan kepalanya di jok dan
tertidur nyenyak. Kino masih mengunyah kacang, memandang ke luar
jendela, melihat betapa kotanya dengan cepat tertinggal di belakang.
Tanpa sadar, ia melamunkan lagi peristiwa semalam .....
******
Pondok itu tetap sepi dan tetap bagai magnit, menarik kedua remaja itu
untuk datang berkunjung, walau setiap kali pula mereka ingin menghindar.
Mungkin juga bagai lampu yang menarik laron-laron terbang mendekat.
Kalau terlalu dekat, pastilah mereka akan hangus terbakar, bukan? Tetapi
bagaimana jika laron-laron itu sudah terbakar api asmara sebelum
menghampiri sang lampu?
Alma dan Kino mengendap-endap mendekat, sambil melihat sekeliling,
kalau-kalau ada orang melintas. Tampaknya tidak ada seorang pun di
sekitar. Kino menggenggam erat tangan kekasihnya, perlahan-lahan
mendekati pondok. Serangga malam menghentikan musik mereka setiap kali
sepasang remaja ini melangkah. Tetapi setelah mereka berlalu, serangga
itu kembali ramai memperdengarkan musik mereka.
Kino langsung mengajak Alma masuk. Pondok itu tentu saja gelap gulita.
Setelah beberapa saat, barulah mata mereka bisa menyesuaikan diri, bisa
melihat ruang kosong dengan dipan kayu itu. Kino segera duduk, dan Alma
segera naik ke pangkuannya. Mereka langsung berciuman, tanpa bertukar
kata lagi. Nafas Alma sudah memburu sejak tadi, bukan hanya karena harus
berjalan cepat dan setengah berlari, tetapi juga karena ia memang
selalu bergairah jika berduaan dengan Kino.
Ciuman mereka tak lagi lembut-mesra seperti ketika di pantai tadi,
melainkan bergelora, saling pagut dan saling mengulum. Nafas mereka
berdua berdesahan, saling menyerobot seperti hendak saling mengalahkan.
Kedua pasang bibir mereka saling menekan memilin, bergantian
menghisap-hisap. Kedua lidah mereka bergelut bergelung seperti dua naga
kecil yang bermain-main di taman basah dan hangat yang adalah mulut
mereka. Berkali-kali Alma seperti tersedak, tak tahan diperlakukan
begitu bergairah oleh kekasihnya. Tetapi berkali-kali pula ia kembali
mengulum bibir pemuda itu, membiarkan lidahnya bermain semakin jauh ke
dalam mulutnya, menyentuh langit-langitnya, menimbulkan rasa geli dan
hangat.
Seperti biasanya, Alma hanya memakai kaos tebal dan jaket, tanpa beha.
Dengan leluasa, tangan Kino segera menelusup menelusuri bukit-bukit
indah di balik kaos itu. Bukit-bukit yang naik turun, membusung penuh,
kenyal-padat, hangat. Tangan Kino langsung gemas meremas, memijat,
menekan. Jari-jarinya bermain ringan di atas kedua puting yang telah
menegang tegak. Alma pun mengerang merintih merasakan kedua budah
dadanya bagai dipenuhi uap panas, bergulung-gulung seakan badai yang
sedang melanda bumi. Sambil memeluk leher Kino, gadis itu membusungkan
dadanya, memajukan seluruh tubuhnya, menghenyakkan kedua payudaranya di
tangan kekasihnya. Ia ingin diremas lebih keras lagi, lebih bergairah
lagi.
Mulut Kino meninggalkan mulut Alma, kini menciumi lehernya yang jenjang.
Menciumi kulit mulus-lembut nan harum di bawah telinganya. Menggigit
cuping telinga itu, membuat Alma terkejut, tetapi juga sangat senang.
Apalagi kemudian Kino menggigit pula lehernya, pelan-pelan saja. Oh,
geli sekaligus nikmat rasanya diperlakukan seperti itu. Seperti
disengat-sengat bara kenikmatan yang membangkitkan api birahi semakin
besar.
Alma memajukan duduknya, mengangkat sedikit tubuhnya, sehingga mulut
Kino kini semakin turun. Cepat-cepat Alma mengangkat kedua tangannya,
membiarkan Kino menaikkan kaosnya. Segera dua payudara gadis yang
kenyal-padat itu terpampang, indah sekali dalam keremangan malam, putih
bersih bagai bersinar. Hmmm,... Kino menenggelamkan wajahnya di lembah
harum di antara dua bukit indah itu. Hmmm ..., tubuh Alma selalu penuh
keharuman sabun wangi, dan juga bedak yang biasa dipakai bayi. Hmmm
...., sungguh menggairahkan rasanya menciumi dada ranum yang agak basah
oleh keringat itu. Dengan gemas, digigitnya sedikit daging di pangkal
salah satu payudara itu. Alma mengerang. Alma merintih.
"Uuuh ....," Alma merintih ketika mulut Kino naik dan mengulum puting sebelah kiri. Tubuh gadis itu menggelinjang ke kiri.
"Aaaah ....," Alma mengerang ketika Kino meremas payudara sebelah kanan. Tubuh gadis itu bergeser ke kanan.
Begitulah terus. Ke kiri. Ke kanan. Ke kiri ke kanan. Gerakan-gerakan
Alma menimbulkan gesekan nikmat di bawah sana, di tempat selangkangannya
yang terhenyak rapat di pangkuan Kino. Ada cairan bening tipis mengalir
pelan dari dalam tubuhnya, membasahi celana dalamnya. Ada rasa hangat
turun bersama aliran itu. Ada rasa geli-nikmat yang merayap perlahan ke
seluruh penjuru tubuh.
Dengan satu tangannya yang masih bebas, Kino menyingkap rok Alma lebih
ke atas, sehingga antara dia dan gadis itu kini hanya ada seutas kain
nilon tipis yang telah basah di sana-sini. Setelah itu, tangan Kino
masuk menelusup dari belakang. Alma mengerang merasakan tangan itu
membawa kehangatan ke bagian belakang tubuhnya yang penuh-padat itu.
Alma merintih ketika Kino meremas-remas bagian itu, seakan-akan sedang
memeras buah hendak mengambil airnya. Gadis itu semakin memajukan
duduknya, semakin rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke pangkuan
Kino. Malam terasa semakin panas. Keringat muncul di beberapa bagian
tubuh keduanya; di ketiak, di punggung, di tengkuk.
Lalu celana dalam Alma terlepas sudah, entah oleh tangan Kino atau oleh
tangannya sendiri. Tidak jelas lagi, siapa melakukan apa dalam
pergumulan bergairah yang tak terkendal ini. Kedua tangan Kino kini ada
di bawah. Yang satu meremas-remas di belakang, yang lain menelusup ke
depan. Alma mengangkat tubuhnya, tidak lagi duduk di pangkuan Kino,
memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kedua tangan pemuda itu.
Kino pun segera memanfaatkan keleluasaan itu. Jari-jarinya
mengusap-menelusupi kewanitaan Alma yang terasa panas membara. Gadis itu
menggelinjang hebat ketika merasakan ujung jari Kino menyentuh-nyentuh
bagian-bagian yang sangat sensitif di bawah sana. Rasanya, bagian-bagian
itu telah berubah seluruhnya menjadi ujung saraf belaka, tidak dilapisi
apa-apa. Sehingga setiap sentuhan, seberapa pun ringannya, sanggup
mengirimkan sentakan-sentakan kenikmatan ke seluruh tubuh.
Lalu celana panjang Kino juga telah terbuka. Sekali lagi, entah siapa
yang melakukannya. Mungkin Kino, mungkin Alma, mungkin keduanya.
Kejantanan Kino tahu-tahu juga sudah di luar, tegak berdenyut. Alma
meraihnya dengan gemas, tersentak merasakan betapa panasnya otot-kenyal
yang menggairahkan itu. Kino mengerang ketika merasakan tangan halus
lembut meremasnya di bagian yang sangat sensitif, di ujung yang telah
sedikit basah pula. Lalu tangan Alma menuntun kejantanan Kino ke depan
kewanitaannya. Oh, Alma menggosok-gosok kewanitaannya dengan otot-kenyal
padat panas itu. Oh, rasanya nikmat sekali bagi keduanya.
Menggelitik-gelitik, menimbulkan geli nikmat di mana-mana.
Dengan kedua tangannya yang kokoh, Kino kini menopang tubuh Alma. Kedua
telapak tangannya menjadi tumpuan dari pantat gadis itu, sementara
dengan tangannya Alma terus menggosok-gosokkan kejantanan Kino.
Pelan-pelan, kewanitaannya terasa semakin menguak, semakin membuka.
Apalagi cengkraman tangan Kino juga ikut merentangkan bagian bawah itu,
membuatnya semakin terbuka. Kejantanan yang kenyal-tegang itu kini
menelusuri permukaan kewanitaan Alma, menimbulkan rasa geli yang sangat
nikmat. Membuat liangnya semakin basah dan licin. Berdenyut-denyut pula.
Sesekali, ujung kejantanan Kino menelusup sedikit ke dalam. Oh,... Alma
terpejam merasakan tusukan-tusukan kecil menyeruak ke dalam tubuhnya.
Ahhh ..., Kino juga terpejam merasakan ujung-ujung sarafnya seperti
dibelai-belai mesra. Betapa hangat, basah dan licin permukaan liang
kewanitaan itu. Betapa halus, bagai sutra. Alma mengerang-merintih,
terus memainkan otot-kenyal di tangannya, menggosok ke depan ke
belakang, memutar-mutar.
Lalu pelan-pelan Kino menurunkan tubuh Alma, ..... cuma sedikit saja,
mungkin cuma tiga senti. Tetapi itu sudah cukup membuat Alma tersentak,
mengerang "Aaah...", merasakan sebuah benda tumpul hangat menyeruak ke
dalam tubuhnya. Rasanya sedikit pedih, tetapi juga geli dan nikmat.
Bercampur baur. Mengejutkan.
"Jangan, Kino....," desah Alma sambil berusaha mengangkat tubuhnya.
Tetapi entah kenapa, ia tak sanggup melakukan hal itu. Rasa nikmat di
bawah sana menahannya untuk bergerak. Maka akhirnya ia cuma
menggeliat-geliat.
Kino mengerang pelan. Oh,.. hangat sekali di dalam sana. Ia merasakan
ujung kejantanannya dibalut entah oleh apa. Terasa sempit tetapi juga
licin, mencekal erat tetapi juga berdenyut-denyut. Dengan kedua
tangannya, Kino mempertahankan posisi tubuh Alma yang kini bagai
mengambang: antara atas dan bawah, antara kenikmatan dan kekhawatiran.
Alma merasakan nikmat luar biasa datang dari liang kewanitaannya yang
kini bagai tersumbat sebentuk otot-kenyal. Tak sadar, ia menggoyangkan
pinggulnya ke kiri dan ke kanan, menyebabkan si sumbat menyeruak
dinding-dinding bagian dalam kewanitaannya, menimbulkan kenikmatan
tambahan. Kino tetap menahan tubuh Alma agar tidak melesak lebih ke
bawah. Diam-diam ia khawatir akan apa yang mereka lakukan. Ia takut jika
seluruh kejantanannya masuk dan merusak sesuatu di dalam sana, walau ia
sendiri tak tahu, ada apa di dalam sana.
"Aaaaaah!", tiba-tiba Alma mengerang. Orgasmenya datang bagai banjir
bandang. Kedua kakinya mengejang, dan ia ingin merapatkan pahanya,
menjepit kejantanan Kino untuk menimbulkan kenikmatan yang lebih lagi.
Tetapi tangan pemuda itu sangat kokoh mencengkram tubuhnya, sehingga
akhirnya Alma hanya menyerah saja. Membiarkan tubuhnya
berguncang-guncang ketika ia mencapai klimaks yang sedap itu. Kedua
tangan Alma mencengkram bahu Kino. Tubuhnya meregang. Matanya terpejam
erat, mulutnya setengah terbuka, mengeluarkan keluh berkepanjangan,
"Nggggggg....".
Bersamaan dengan itu, Kino merasakan ujung kejantanannya bagai
dipilin-diremas oleh daging kenyal hangat yang bergerak-gerak liar.
Sekuat tenaga ditopangnya tubuh Alma yang sedang bergetar hebat.
Keringat Kino membasahi badannya, karena tubuh gadis itu tidaklah
ringan. Apalagi kalau sedang meregang-mengejang seperti ini.
Lalu, Kino merasakan klimaksnya datang, ketika Alma masih
mengerang-merintih dengan kedua tangan mencengkram bahunya. Cepat-cepat
Kino mengangkat tubuh gadis itu, walaupun Alma terdengar memprotes. Ia
masih cukup waras untuk tidak menumpahkan cairan cintanya di dalam.
Dengan satu gerakan, ia menggeser duduknya. Kejantanannya lepas dari
cengkraman permukaan liang yang sebetulnya sangat menjanjikan kenikmatan
itu.
Alma pun akhirnya sadar apa yang dihindari Kino. Gadis itu cepat-cepat
menggeser ke arah berlawanan. Ia melihat ke bawah, ke arah otot-kenyal
yang masih tegak dan seperti bergerak-gerak menggeliat. Oh,..
cepat-cepat diraihnya bagian tubuh Kino yang tadi memberikan kenikmatan
di tubuhnya itu. Cepat-cepat ia meremas, ingin berpartisipasi dalam
pencapaian klimaksnya.
"Aaaaah!" Kino mengerang panjang, merasakan tubuhnya bagai
disentak-sentak ketika cairan-cairan cinta memancar kuat dari
kejantanannya. Tangan Alma yang halus terasa menambah nikmat pancaran
itu, sekaligus menampung cairan-cairan kental panas yang berebut keluar.
Alma terduduk di samping Kino, dengan tangan tetap mencengkram,
merasakan getaran-gejolak klimaks kekasihnya. Kino berkali-kali
mengerang, dengan tubuh meregang dan kedua tangan bertelektekan di
dipan. Alma merasakan otot-kenyal berdenyut-denyut dalam genggamannya.
Menakjubkan sekali!
Betapa kuatnya klimaks Kino kali ini, menyebabkan tubuhnya seperti
dioyak-oyak, tulang-tulangnya seperti lepas, ototnya seperti meledak. Ia
menghempaskan tubuhnya di dipan, diikuti Alma yang berbaring di
sebelahnya. Keduanya masih telanjang di bagian bawah, terengah-engah
seperti habis berlari sepanjang hari. Tangan Alma tetap menggenggam di
bawah sana, senang bisa menampung tumpahan cinta kekasihnya. Hangat dan
licin rasanya.
******
Lamunan Kino buyar ketika mobil yang ditumpanginya membelok tajam,
menyebabkan tubuh Paman Tingga membentur tubuhnya. Lelaki setengah baya
itu tetap tertidur, cuma menggumam tak jelas, lalu kembali menegakkan
tubuhnya di sandaran kursi. Kino menghela nafas panjang. Kota
kelahirannya semakin jauh tertinggal. Mobil melesat laju di jalan raya
antarkota. Di kiri-kanan jalan, sawah luas terbentang, menghijau bagai
hamparan karpet . Langit tampak biru dibercaki awan putih. Puluhan
burung bangau tampak terbang ke arah selatan.
Kino tiba di kota M menjelang sore. Rumah Paman Tingga cukup besar dan
Kino mendapat kamar di belakang, dekat dapur dan gudang. Setelah
beristirahat sebentar, Paman Tingga mengajak Kino membicarakan agenda
mereka untuk dua bulan mendatang. Mendengar kata dua bulan, Kino
mengeluh dalam hati. Lama sekali rasanya dua bulan itu.
Lalu, keesokan harinya Kino diantar Paman Tingga ke tempat kursus yang
telah ramai oleh pemuda sebayanya. Ruang belajar tampak jauh lebih besar
dari kelas di sekolah di kota kelahirannya. Teman-teman barunya juga
jauh lebih banyak, dan jauh lebih banyak tingkah. Sebagian dari mereka
bahkan sudah bertingkah seperti layaknya remaja kota besar, memakai kaca
mata hitam segala. Kino tersenyum simpul melihat salah seorang dari
mereka memakai kacamata secara terbalik. Pastilah itu kacamata pinjaman!
Demikianlah, hari-hari berikutnya Kino sibuk mengikuti kursus di kota M
dan mulai bisa melupakan hal-hal lain. Konsentrasinya penuh ke
pelajaran, dan hanya sekali-sekali ia teringat akan Alma dan kota
kelahirannya. Hari-hari pun terasa semakin cepat berlalu.